Pemegang Pedang Demokles |
Friday, September 29, 2006 |
"SUNGGUH enak hidup di televisi. Tak ada bau, tak ada kecemasan, tak ada keributan. Waktu dihabiskan hanya untuk menyanyi. Sungguh enak hidup di televisi. Tak ada kebusukan, tak ada pemogokan, tak ada kemiskinan. Ada dokter, dermawan, ada sawah hijau, buruh-buruh gajinya cukup," ujar Gading mengutip puisi karya peraih Yap Thiam Hien Award 2002, Wiji Thukul, sembari menuding acara kuis "Who wants to be Millionaire" di televisi yang semua pesertanya para selebriti dan hadiah yang mereka peroleh disumbangkan ke dompet korban bencana alam.
"Kapan puisi itu ditulis? Pasti sebelum dia 'disukabumikan' pasca-kerusuhan 27 Juli 1996! Sayang, mantan buruh pelitur yang drop out-an SMKI itu tak sempat menyaksikan hingar-bingar dunia pertelevisian dewasa ini. Nyawanya keburu dicabut. Sekarang acara televisi Indonesia sudah seperti mosaik Picasso, penuh warna, garis, dan malah seperti tanpa bingkai," komentar Teril.
"Ya, kini di televisi kemewahan dan kemelaratan diaduk-aduk, sehingga tak jelas batasnya. Sains dan teknologi dicampur klenik. Utang luar negeri disulap jadi mobil dan rumah mewah sebagai lambang kegemerlapan konsumerisme. Demonstrasi buruh dan penggusuran hunian kaum miskin sama hiruk-pikuknya dengan gosip kawin-cerai dan perselingkuhan para selebriti. Mayat tercerai berai dan genangan darah, yang dulu hanya bisa dilihat di ruang forensik rumah sakit, sekarang hampir setiap hari tertayang di TV, lewat sinetron, film maupun berita kriminal. Karena semua bersifat virtual, bau busuk atau harum tetap tak bisa diendus," papar Kodek.
"Derita akibat bencana alam yang ditayangkan di televisi memang mampu memancing simpati para pemirsa untuk menyumbang. Herannya, ketika sumbangan dari dalam maupun luar negeri terkumpul, kok ada pihak-pihak yang memperkaya diri dengan menelikung bantuan itu. Apa ini yang disebut ekonomi postmo, dimana bukan hanya barang dan jasa diperdagangkan, duka dan nestapa pun dikemas jadi komoditas. Coba perhatikan korban bencana, sejak tsunami Aceh hingga gempa Yogyakarta, mereka kenyang makan janji. Memang benar pidato bahwa siapa pun yang memerintah tak akan berdaya menghadapi bencana beruntun yang dipercaya sebagai kehendak Tuhan. Tapi, kalau berani menyebut campur tangan Tuhan dalam urusan bencana, pertanyaannya, apakah Tuhan memberi cobaan yang sama pada setiap orang, baik dia pemimpin atau orang awam?" tanya Kama.
"Kepala saja beda bulunya kok! Ada yang keriting, kejur bahkan botak, begitu pula warnanya. Peruntungan masing-masing orang jelas tak sama. Keherananku pun tidak sama dengan keherananmu," sela Rubag.
"Nggak masalah! Pendapat, termasuk keheranan boleh beda, asalkan kau tetap mengatakan dirimu orang Bali dan bangsa Indonesia yang punya sikap saling asih, asah dan asuh. Lalu, apa yang kau herankan?"
"Pernyataanmu itulah yang menjadi fokus keherananku. Masihkah sikap asih, asah dan asuh itu ada di negeri ini, ketika menyaksikan bentrokan fisik massal yang akhir-akhir ini sering ditayangkan di televisi? Lihat ketika terjadi perang suku di Mimika, Papua. Bedanya, di Mimika ada korban mati dan luka sungguhan, sedangkan di Denpasar hanya sebuah parodi terhadap perilaku politik para elit di Indonesia. Aku heran, kok seakan-akan tak ada pejabat berkompeten yang merasa heran dan prihatin."
"Benar juga ya? Padahal, bentrokan itu diberitakan sudah berlangsung berhari-hari di tempat yang sama dengan korban luka dan mati terus berjatuhan. Ironis, di Bali tajen yang baru berlangsung dua seet saja digerebek. Apakah ini disebut 'Politik Pembiaran'? Wah, kalau begitu kita kembali ke periode seleksi alam lagi dong! Hanya yang terkuat yang boleh hidup!" celoteh Lonjong.
"Perang antara pribumi Amerika hanya terjadi dalam serial 'Wild Wild West' di film-film. Ketika Irian atau Papua Barat tetap dikangkangi Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Soekarno mengumandangkan Trikora untuk merebutnya kembali. Haruskah kita biarkan penduduk aslinya saling bunuh, padahal sejak 1963 mereka disuruh menghafal lagu Indonesia Raya dan bunyi Sumpah Pemuda?" kilah Kadek Prenget.
"Mudah-mudahan perang suku itu cepat-cepat berakhir. Aku ngeri membaca buku 'Gelombang Kematian' yang melaporkan genosida di Afrika yang terjadi dekade silam. Dilaporkan, sejak 6 April hingga 18 Juli 1994, dua suku di Rwanda saling bunuh akibat provokasi Radio Television de Milles Collines (RTLM). Suku Hutu yang mayoritas dikobarkan kebenciannya terhadap suku Tutsi yang minoritas, sehingga konon dalam tempo 100 hari 800 ribu orang terbunuh. Masihkah kita pongah menyebut diri mahluk tersempurna ciptaan Tuhan dan menjunjung Pancasila, kalau itu terjadi di sini?" tanya Kudil.
"Ihhh, ngeri! Bulu kudukku berdiri membayangkan kekejaman di luar akal sehat itu. Agaknya ungkapan sinis orang tentang Iptek, tidak sepenuhnya ngawur. Sains dan teknologi dianalogikan seperti Pedang Demokles bermata dua. Teknologi informasi yang dibangga-banggakan sebagai inovasi unggulan, ternyata jadi penyebab hilangnya ribuan nyawa seperti yang kau tuturkan. Tiga perang besar yang mengisi sebagian besar ruang dan waktu abad ke-20 dengan jutaan korban nyawa, juga berkat andil Iptek. Terorisme bom yang marak mengawali Millenium III ditengarai akibat ponsel yang digunakan sebagai pemantik dan berkat Iptek. Kasus masuknya laptop ke penjara, juga diduga untuk merancang terorisme," ulas Manik.
"Tapi jangan lupa, berkat Iptek pula kehidupan jadi lebih mudah, efektif dan makmur. Namun sayang, konon ada sekelompok manusia yang menguasai segelintir bangsa menganggap diri mereka paling berhak dan paling bertanggung jawab atas keselamatan dunia yang sarat beban ini. Untuk itu, ditengarai, mereka merencanakan untuk mengeliminasi dengan berbagai cara sebagian penduduk dunia yang mereka sebut 'useless eaters'. Ironisnya, bangsa-bangsa di dunia ketiga yang sedang berkembanglah yang mereka sebut 'pemakan tak berguna' itu. Sebenarnya, merekalah pemegang Pedang Demokles itu. Agar bangsa ini tidak tereliminasi dan tetap tegaknya NKRI, hindarilah provokasi dan jangan saling cabik antarsesama komponen bangsa," ujar Kudil langsung meloncat ke ojek yang sudah lama menantinya. * aridus
http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/9/10/opini.html |
teman sedang online
posted by Ary Hamzah @ 7:51 PM |
|
|